Studi tentang “Bangsa Paling Melek Huruf di Dunia” oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016 menempatkan Indonesia di urutan kedua setelah Bostwana sebagai negara yang paling sedikit tertarik membaca buku di antara 61 negara yang disurvei.
Di antara negara-negara anggota ASEAN, Indonesia adalah yang paling sedikit melek huruf dengan Singapura di peringkat ke-36, Malaysia ke-53 dan Thailand ke-59.
Rendahnya minat baca Indonesia berbanding terbalik dengan minatnya dalam menggunakan internet. Negara ini adalah yang terbesar keenam di dunia dalam jumlah pengguna internet. Pada tahun 2017 sebuah lembaga riset pasar, e-Marketer, memperkirakan ada 112 juta netizen di Indonesia melebihi jumlah di Jepang, di mana jumlah pengguna internet tumbuh lebih lambat.
Situs statista.com menyebutkan lima media sosial yang paling banyak digunakan oleh netizen Indonesia adalah Facebook, Instagram, Twitter, Path, dan Google+. Jumlah pengguna Facebook di Indonesia adalah terbesar keempat di dunia setelah India, ketiga dengan 195,16 juta pengguna, Amerika Serikat dengan 191,3 juta pengguna dan Brasil dengan 90,11 juta pengguna.
Kemudahan akses informasi dan kecepatan arus informasi melalui internet membuat masyarakat Indonesia kurang tertarik untuk membaca buku. “Masyarakat kita menjadi kehilangan minat membaca koran, buku, dan barang cetakan lainnya. Akibatnya, peningkatan literasi kita lamban,” kata juru kampanye literasi dan pendiri Urban Women Book Club Nathalie Indry. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia adalah terbatasnya akses terhadap buku terutama di daerah-daerah terpencil.
Inge Tumiwa Bachrens, penulis buku “Makan Bersih” tentang minat masyarakat untuk membaca buku di Belitung, mengatakan, “Meskipun sebuah museum telah dibangun oleh penulis populer Andrea Hirata, kebanyakan orang di pulau itu terutama anak-anak sekolah tidak memiliki perpustakaan dengan buku-buku berkualitas untuk dibaca. Baca.”
Perpustakaan belum dipandang sebagai prioritas oleh masyarakat dan perpustakaan pemerintah daerah masih sepi pengunjung antara lain karena terbatasnya ketersediaan buku-buku baru di perpustakaan. Perpustakaan hanya memiliki buku-buku tua dan usang. Oleh karena itu minat membaca lambat tumbuh, karena budaya tidak berkembang menuju budaya membaca, kata Inge.
Data Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menunjukkan bahwa pada tahun 2012, terdapat 18.000 buku berjudul hingga 30.000 judul pada tahun 2014. Jumlah tersebut tidak sebanding dengan 250 juta penduduk negara itu, terbesar ke-4 di dunia.
Banyak pihak yang merasa prihatin dengan lambatnya pertumbuhan budaya membaca di tanah air sebagai akibat dari tumbuhnya minat terhadap internet. Nathalie Indry dan Inge Tumiwa Bachrens, telah berusaha mengatasi masalah tersebut dengan caranya masing-masing.
Indry sejak 2012 bekerja sama dengan sebuah stasiun radio dalam Program V Book Club mencoba memperkenalkan buku sebagai bagian dari gaya hidup. Selain itu, bersama dengan komunitas non profit “Urban Women Book Club”, Indry mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk serius menyikapi masalah tersebut dan menunjukkan kepedulian terhadap menurunnya minat baca buku di perkotaan akibat semakin mudahnya akses internet. informasi.
“Kami juga menerima dan menyambut kemajuan teknologi informasi. Kami bahkan menggunakan internet untuk berkomunikasi dengan penulis lain di seluruh negeri dengan memanfaatkan layanan media sosial, tetapi misi kami adalah menyebarkan dan menghidupkan kembali semangat meluangkan waktu untuk buku,” katanya. dikatakan.
Sejumlah perempuan aktivis komunitas penulis menyumbangkan buku gratis untuk masyarakat dalam kampanye literasi mereka. Mereka bahkan mengunjungi daerah-daerah yang membawa buku untuk diberikan secara gratis kepada masyarakat di daerah tertentu, dengan harapan dapat menumbuhkan minat baca.
“Dalam diskusi dengan masyarakat kami mengangkat topik-topik isu kontemporer yang menarik bagi mereka,” kata Indry seraya menambahkan, “Sudah saatnya masyarakat kita mengembangkan budaya membaca dan melepaskan diri dari kepungan hoaks.”
Sementara itu, Dirjen Penerapan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Samuel Abrijani Pangerapan mengatakan masyarakat yang kurang melek huruf cenderung mudah ditipu oleh hoaks atau informasi palsu.
“Sebuah survei menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia percaya 65 persen informasi internet. Ini buruk. Persentasenya cukup tinggi dibandingkan dengan sbobetcasino dan orang-orang di banyak negara lain,” kata Samuel dalam sesi dialog “Hari Kebebasan Pers Sedunia 2017” di sini pada hari Senin.
Dia mengatakan di negara-negara dengan tingkat literasi tinggi, kepercayaan terhadap informasi internet rendah karena orang yang berpendidikan lebih baik cenderung tidak menerima begitu saja.
Berdasarkan survei, orang-orang yang berpendidikan, sebelum mengambil informasi sebagai kebenaran, akan terlebih dahulu mencari konfirmasi dari sumber lain seperti buku, katanya.
Melalui internet siapa saja bisa mengaku sebagai siapa saja atau apa saja, ujarnya, menambahkan pengguna internet, oleh karena itu, perlu belajar mengendalikan emosi dan berpikir matang.
Lihat juga Cara Mendapatkan Ulasan Buku Yang Efektif.
“Selain mengendalikan emosi, kita juga harus bisa menahan diri untuk tidak menyebarkan informasi yang tidak bisa kita jamin validitasnya. Ada undang-undang yang melarang penyebaran informasi palsu. Untuk amannya, lebih baik kita skip saja informasi yang mengandung propaganda.